Meracik Hidup

Sejak kecil, gue tumbuh di keluarga yang mengutamakan pendidikan. Ini bikin gue sangat bersemangat untuk memiliki prestasi baik di bidang akademik dan non akademik. Pelan pelan gue terperangkap di dalam sebuah mindset kalo nilai gue sebagai manusia ditentukan dari prestasi yang gue miliki.

Saat gue kuliah, gue rajin mengikuti lomba debat bahasa inggris. Udah 20 kali lomba gue ga pernah juara. Di situ gue ngerasa minder dan ga berharga. Akhirnya di lomba ke 25 gue berhasil juara. Dari situ gue pede lagi karena gue merasa diri gue berharga. Makin kuat tuh gue mengasosiasikan nilai diri gue dengan pencapaian gue.

Begitu gue lulus, gue diterima di salah satu perusahaan yang paling diidamkan sama temen temen gue. Saat itu motivasi gue masuk kesana adalah membuktikan kalo gue bisa kok keterima di tempat kerja yang keren banget. Tanpa gue sadar, kali ini orientasi gue terhadap validasi external membawa gue ke pekerjaan yang ternyata gue kurang nikmati. Ketika pengumuman kelolosan program management trainee, gue diumumkan ga lolos sehingga gue perlu mencari pekerjaan baru. Saat itu gue kecewa tapi gue jalani aja.

Di kerjaan gue selanjutnya, gue konflik sama manager gue. Imbasnya gue ga lulus probation dan sekali lagi gue perlu mencari pekerjaan baru.

Dua kali gue keluar dari perusahaan dalam setahun. Gue yang awalnya menyalahkan keadaan mulai bertanya, apakah sebenernya gue yang salah?

Gue akhirnya melakukan sabbatical selama 3 bulan. Selama sabbatical, gue banyak ngobrol sama diri gue sendiri untuk tahu sebenernya gue siapa, apa yang gue percaya, dan apa yang gue tuju. Selama periode itu gue juga minder banget karena tiap ditanyain orang, gue bisa merasakan judgement (atau mungkin ini perasaan gue aja). Pelan pelan gue belajar untuk ga menggantungkan nilai diri gue terhadap pencapaian gue. Kalo iya soalnya nilai gue rendah banget karena semua pencapaian gue diambil.

Akhirnya setelah 3 bulan, gue dapet kerjaan yang menurut gue sesuai banget sama apa yang gue cari. Hasilnya? Gue stay di situ selama 3.5 tahun lebih dan selama bekerja disitu gue dikasi tanggung jawab yang lebih besar. Ga cuma itu, hubungan gue dan keluarga juga jauh membaik karena gue lebih clear untuk melihat kalo keluarga itu bagian penting dalam hidup gue. Gue juga akhirnya mulai punya waktu untuk membaca dan mereview hidup gue secara berkala.

Looking back, yang gue jalanin itu rasanya pahit banget tapi gue bersyukur gue bisa ngadepin itu semua.

Hal tersebut mengajarkan gue banyak strategi yang sekarang gue terapkan dalam hidup gue

Dan gue dengan senang hati share strategi tersebut ke elo semua supaya lo ga perlu ngalamin kepahitan yang gue alamin :)

Ketika gue berusia 20 tahun, gue didiagnosa Bipolar dan kemudian harus mengkonsumsi anti-depressants untuk 2 tahun. Karena, kalau gue gak minum 'obat', gue gak bisa berfungsi, gak bisa kuliah dan gak bisa hidup dengan merasa 'normal' saja. Di titik yang gue itu sampai gak tau apa rasanya bahagia. 

Setelah itu gue bertanya sih, apakah gue beneran akan minum obat-obatan seumur hidup gue untuk bisa berfungsi "normal"? Adakah cara lain yang bisa gue lakukan agar gue bisa semakin kuat dan sehat mental? Disitulah perjalanan gue dimulai untuk memprogram ulang diri gue. 

Ada banyak hal-hal yang gue pelajari dalam beberapa tahun ke depan yang I wish orang tuh mengajarkan ini jaman kuliah or awal kerja sih. Hal-hal yang sangat fundamental dalam hidup yang mengubah cara pandang gue terhadap hidup. 

Ternyata, bahagia itu bisa mudah. Ternyata kita punya kontrol terhadap isi kepala dan hidup kita sendiri. Ternyata selama ini ada hal-hal yang membuat gue menyabotase diri gue sendiri. Dan, apa artinya "memprogram ulang" diri gue. 

Kalau ada yang bilang 2020 ini tentang a "new normal", bagi gue ini seperti "The Great Reset." Dan ini mengingatkan perjalanan gue di jaman muda (asli kesannya tua banget ya). 

Orang-orang yang kenal gue selalu bertanya, "Apa yang membuat lo sangat optimis dan punya energi banyak?" Ini adalah hal-hal yang gue latih selama ini, sehingga gue gak terbawa arus, gak terbawa toxic, dan bisa semakin jejek, puas dan merasa utuh sebagai manusia dan profesional. 

Kenapa akhirnya ada program ini? Supaya lo gak perlu bersusah payah menemukan teknik-teknik ini. Dan seperti kata teman-teman yang sudah pernah ikut, ini tuh life-changing banget. 

Gue ga sabar untuk bisa share ini dengan lo. 

Wah thank you! Lo akan dapat aksesnya dari tim Follow Your Flow dalam 2 x 24 jam setelah lo membayar. Kalo lo ga dapat akses dalam 2 x 24 jam silakan email ke [email protected] ya

Nah kalo lo beneran niat tapi lagi ga ada duit, bisa ada jalannya.

• Dengerin 3 episode podcast di bawah ini.
  
  • Navigating Through Quarter Life Crisis
  • Flow, momen yang paling dicari saat pandemi
  • Cerita Anak Boyolali Magang di Twitter Silicon Valley
• Dari episode tersebut, bikin 3 buah microblog (minimal 5 halaman) mengenai apa yang lo pelajari dari podcast tersebut. Jangan lupa tag @followyourflow.id dan 3 orang teman lo di post tersebut.
• Tulis satu lembar essay dalam format pdf mengenai kenapa lo layak untuk mendapatkan beasiswa ini.
• Subscribe ke Youtube Channel kita di link berikut

Kirimkan 3 link microblog elo beserta pdf essay ke [email protected] dengan subject email: Nama Lengkap - Beasiswa Meracik Hidup. Contohnya: Vicario Reinaldo - Beasiswa Meracik Hidup.

Secara konten sebenarnya banyak yang sudah di-cover di instagram. Gampangnya, coba lo nanya ke diri lo sendiri pertanyaan ini

“Seberapa berubah kualitas hidup gue sejak gue follow followyourflow.id?”

Kalo kualitas hidup lo udah jauh lebih kece, mungkin lo ga butuh kelas ini lagi.

Kalo kualitas hidup lo masih gitu gitu aja, mungkin lo akan butuh ikut kelas ini.

Gue kasi bocoran dikit ya. Ada bedanya antara tahu dan bisa. Akun ig kita bagus untuk bikin lo tau tentang konten kita tapi program online kita lah yang akan bantu supaya teman teman bisa. Di program online kita akan

• Belajar dan mempraktekan #langkahmudahberfaedah
• Diskusi sama teman teman juga obsessed sama bikin hidup mereka lebih kece
• Bahas konten secara lebih lanjut